Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena orang kaya perkotaan yang porsi menabungnya merosot secara data statistik jadi perhatian serius belakangan ini. Sedangkan kelompok kelas bawah maupun masyarakat pedesaan juga memunculkan fenomena baru, yaitu maraknya penjualan aset lahan atau tanah untuk kegiatan produksi seperti sawah.
Fenomena pedesaan ini memang tak tertangkap data statistik resmi. Namun, berdasarkan fenomena yang tertangkap di lapangan tren jual sawah atau gadai sawah di pedesaan belakangan ini cukup marak.
Asti, salah satu wirausahawati di Bandung misalnya, mengaku punya pengalaman unik belakangan ini. Ia saat pulang ke kampung halamannya di Cianjur, antrean warga menawarkan jual sawah kepadanya makin marak, tak seperti biasanya.
“Biasanya mereka alasan jual atau gadai untuk kebutuhan, mulai dari kebutuhan sehari-hari, bayar utang, sampai urusan bangun rumah. Sebulan ini sudah banyak yang menawarkan ke saya. Kemarin pulang ke kampung, sudah ada 4 orang dalam seminggu yang datang menawarkan sawah, buat kebutuhan. Ini makin banyak belakangan ini,” katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/12/2023).
Pengalaman Asti bisa jadi juga dialami oleh warga lainnya. Di sisi lain misalnya, data e-commerce jual beli aset tanah, penawaran lahan sawah jumlahnya tak sedikit. Misalnya di platform Lamudi, dengan kata kunci ‘Sawah Dijual’ ditemukan 56.510 penawaran.
Seperti apa yang terjadi sebenarnya? apalagi Indonesia cukup panjang dilanda El Nino membuat proses produksi terganggu di kalangan petani, sehingga mereka tertekan?
Ketua Umum Asosiasi Benih & Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa mengatakan dari data BPS luas sawah terus berkurang. Selain itu Nilai Tukar Petani (NTP) juga selalu turun.
“Kalau tahun 2000-an itu NTP masih 125 sekarang sudah 100 artinya ya memang belum untung, logikanya kalau nggak untung apakah masih mau berusaha? jadi kalau petani itu memang kan kelompok masyarakat paling tak sejahtera. kalau bicara soal makan tabungan, ya gimana, menabung aja mungkin nggak bisa,” katanya.
Apa yang disampaikan Dwi, memang mendekati realitas di lapangan, sebab tekanan terhadap petani makin berat. Sehingga saat orang kota “makan tabungan”, tak berlebihan barang kali masyarakat desa atau petani ada yang sampai “makan tanah’ dari hasil jual aset sawah untuk bertahan hidup. Atau juga bertahan secara self-sufficient dari hasil tanaman yang mereka tanam sendiri dengan perumpamaan ‘makan daun’.
“Jadi jangankan makan tabungan, yang ada ngutang. Petani itu kan simpan hasil panennya 20-40% untuk kebutuhannya, sisanya dijual lalu untuk dipakai jadi modal, yang mana 30% modal itu untuk biaya sewa lahan dan buruh,” katanya.
Sebelumnya Data Bank Indonesia (BI) kelompok masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan mulai mengurangi porsi tabungannya di akhir tahun 2023. Porsi tabungan mereka berkurang karena tergerus untuk liburan dan membeli barang elektronik, seperti ponsel.
Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia untuk bulan November menunjukkan porsi menabung kelompok menengah ke atas ini merosot dari 18% pada Oktober menjadi hanya 16,3% di November kemarin.
Artikel Selanjutnya
Kisah Warga RI ‘Mantab’, Sebulan Tarik Rp500.000 Buat Hidup
(hoi/hoi)