Jakarta, CNBC Indonesia – Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi salah satu topik yang paling sering disinggung selama masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Selama masa kampanye, kepastian masa depan calon ibu kota negara itu “goyang” habis-habisan.
Hal ini tentu menjadi sorotan bagi masyarakat Indonesia. Terlebih, proyek tersebut sedang berjalan dan aparatur negara ditargetkan pindah secara bertahap mulai 2024 mendatang.
Adapun, indikasi batalnya mega proyek ini muncul dari calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan. Dalam kampanyenya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu sudah berkali-kali mengkritik proyek pemindahan ibu kota tersebut.
Jika terpilih, Anies berjanji akan mengkaji ulang kelanjutan proyek IKN. Ia mengatakan, anggaran yang dimiliki negara sedikit dan lebih baik dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
“Nanti saya lihat, kalau saya terpilih, kita akan kaji ulang itu semua, kaji ulang,” kata Anies Baswedan dalam sebuah acara diskusi di Bandung dikutip dari Detikcom, Sabtu (23/12/2023).
Proyek-proyek nasional dengan skala besar, seperti IKN, memang selalu menjadi keputusan politik, selain pertimbangan ekonomi. Bahkan, tidak jarang proyek yang digagas satu pemimpin tingkat nasional dibatalkan ketika rezim berganti.
Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, peristiwa dibatalkannya proyek yang digagas kepala negara pernah beberapa kali terjadi ketika tampuk kepemimpinan nasional berganti.
Berikut daftar sejumlah proyek yang dibatalkan akibat pergantian presiden:
Proyek Ibu Kota Jonggol
Presiden Soeharto sempat berencana untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kawasan Jonggol, Jawa Barat. Dalam persiapan sebagai ibu kota, Jonggol hendak dijadikan kota terlebih dahulu.
Rencana itu muncul saat Presiden Soeharto merilis sebuah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/1997 tertanggal 15 Januari 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.
Keppres pengembangan kawasan Jonggol itu nantinya akan menjadikan wilayah perkotaan yang di dalamnya ada kawasan permukiman, industri, kawasan perdagangan, kawasan pendidikan, pusat kota dan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pula kawasan pertanian, perkebunan, hutan lindung, waduk, dan bendungan di sekitarnya.
Adapun, Jonggol dipilih karena dekat dengan kawasan Jabotabek yang sudah sangat berkembang pada masa Orde Baru. Selain itu, Jonggol juga bisa diakses dari Jakarta melalui jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi). Tidak hanya itu, beberapa perumahan juga sudah muncul di kawasan sekitar Cibubur pada saat itu.
Dikutip dari buku Perjuangan Keadilan Agraria (2019:152), ribuan hektar tanah di sana tidak memakai izin lokasi berkat rekomendasi daripada Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 1998. Hingga 1997, PT Bukit Jonggol Asri telah berhasil menempati areal seluas 12.818 hektar dengan rincian 8.918 hektar hutan, 2.100 hektar perkebunan, dan 1.800 hektar lahan rakyat di Bogor.
Ketika proyek itu mulai berjalan, pada akhir 1997, krisis moneter yang berujung tumbangnya rezim Soeharto ikut mengakhiri rencana ini.
Proyek Mobil Timor
Orde Baru juga pernah memiliki proyek mobil nasional yang dikenal dengan nama Timor. Dengan anggaran yang besar, proyek mobil ini dijalankan oleh PT Timor Putra Nasional yang dimiliki oleh anak Presiden Soeharto, Tommy Soeharto.
Proyek dimulai dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1996 yang memerintahkan sejumlah Kementerian untuk segera mewujudkan industri mobil nasional.
Namun, proyek tersebut akhirnya batal karena krisis moneter 1997 yang berujung pada lengsernya Soeharto. Proyek tersebut tpun ak dilanjutkan di masa kepemimpinan presiden selanjutnya.
Jembatan Selat Sunda
Sejarah proyek jembatan Selat Sunda bisa ditarik hingga 1960, yakni ketika profesor Sedyatmo mencetuskan konsep Tri Nusa Bimasakti atau interkoneksi antar tiga pulau yakni Jawa-Sumatera-Bali.
Proyek ini baru mulai digarap cukup serius pada 1986 alias ketika Presiden Soeharto menugaskan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) untuk mengkaji Tri Nusa Bimasakti. Namun, pelaksanaan pembangunan jembatan tak kunjung berjalan hingga rezim Orde Baru tumbang.
Di era Presiden Habibie, wacana pembangunan jembatan ultra-panjang kembali bergulir dengan diadakannya kajian tentang proyek ini. Namun, rencana pembangunan yang baru mencapai tahap studi itu harus berhenti akibat krisis ekonomi.
Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda kembali berlanjut pada 2004. Pemprov Banten dan Lampung bersama Artha Graha memprakarsai rencana pembangunan jembatan ini. Dari hasil studi, diketahui bahwa dibutuhkan dana mencapai Rp100 triliun untuk membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Jawa itu.
Untuk membiayai proyek, Pemprov Lampung dan Banten akan menggandeng pihak swasta yang dikomandoi oleh Artha Graha. Proyek diperkirakan akan menelan biaya hingga Rp 100 triliun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mendukung rencana tersebut dengan menerbitkan Perpres Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS). Melalui Perpres itu, peletakan batu pertama akan dilakukan pada 2014. Namun, rencana itu tidak kunjung terjadi hingga SBY lengser pada 2014.
Rencana pembangunan jembatan ini kemudian tak pernah disinggung lagi oleh Presiden Joko Widodo. Pada Oktober 2014, Andrinof Chaniago yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan tidak ada rencana dari presiden untuk melanjutkan proyek ini.
“Sampai sekarang tak pernah ada pernyataan dari Bapak Presiden akan memajukan itu ke dalam program proyek infrastruktur,” tutur Andrinof pada 31 Oktober 2014, dikutip dari Detikcom.
Benar saja, hingga masa akhir kepemimpinannya, Presiden Jokowi tidak pernah menyatakan untuk melanjutkan proyek itu.
Artikel Selanjutnya
Jokowi 3 Tahun Sudah Habiskan Duit Rp 54 T Buat Proyek IKN
(dce)