Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara berhasil ditutup di level psikologis US$130 setelah bertahan lama di level US$120 sejak awal bulan akhir bulan Oktober hingga jelang penutupan akhir bulan November.
Merujuk pada Refinitiv, pada perdagangan Jumat (1/12/2023) harga batu bara ICE Newcastle kontrak Januari ditutup menguat 0,79% di level US$134,55 per ton. Dalam sepekan harga batu bara telah melesat 5,20%.
Posisi penutupan perdagangan Jumat kemarin menjadi yang tertinggi sejak akhir Oktober 2023 atau sebulan terakhir. Kenaikan ini menjadikan sentimen positif untuk harga si pasir hitam di akhir November dan awal Desember.
Kenaikan si pasir hitam didorong dari peningkatan permintaan listrik di negara Anak Benua yakni India.
India dikabarkan akan berencana menambah kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara sebesar 17 gigawatt dalam 16 bulan ke depan. Rencana tersebut merupakan laju tercepat dalam beberapa tahun terakhir, untuk mencegah pemadaman listrik akibat lonjakan permintaan, menurut dokumen pemerintah.
Dorongan ekspansi ini dilakukan menjelang KTT iklim PBB COP28 pada minggu ini, di mana Perancis dan Amerika Serikat diperkirakan akan membatasi pendanaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, sebuah langkah yang akan ditentang oleh India, yang bergantung pada batu bara untuk 73% pembangkit listriknya.
Negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia ini telah menambahkan rata-rata tahunan sebesar 5 gigawatt kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara selama lima tahun terakhir, namun negara ini juga meningkatkan energi terbarukan.
Dalam empat bulan ke depan, India berencana menambah hampir 3 gigawatt pembangkit listrik tenaga batu bara, sedangkan pada tahun fiskal berikutnya, mulai 1 April 2025, India akan menambah 14 gigawatt, atau tingkat tertinggi dalam delapan tahun, menurut laporan internal dokumen pemerintah yang dikutip dari Reuters.
Diketahui India memproduksi listrik dari pembangkit batu bara dalam jumlah terbesar pada Oktober 2023 untuk menutupi kekurangan pembangkit listrik tenaga air akibat rendahnya curah hujan.
Batubara tetap menjadi hal yang penting bagi ketahanan energi di India meskipun pembangkit listrik tenaga angin dan surya telah berkembang dengan cepat, untuk menunjukkan adanya komitmen dalam mengurangi emisi.
Total permintaan listrik yang terpenuhi meningkat sebesar 24 miliar kilowatt-jam (kWh) (+21%) pada Oktober 2023 dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya.Namun pembangkit listrik tenaga air turun sebesar 5 miliar kWh (-30%) karena curah hujan monsun yang sangat rendah menghabiskan sumber daya air.
Beralih ke negara konsumen batu bara terbesar dunia, permintaan China lebih terfokus pada tipe kalori dan sulfur rendah. Hal ini disebabkan harga batu bara dengan kandungan rendah berada di level murah, untuk spesifikasi 4.200 kilokalori per kg (kkal/kg) berada pada harga US$ 58,94 per ton.
Level ini hanya lebih tinggi 17% dari titik terendahnya sepanjang tahun sebesar US$50,38 per ton, yang dicapai pada 25 Agustus lalu.
Beralihnya permintaan batu bara dengan kalori rendah menyebabkan adanya penurunan permintaan batu bara kalori tinggi, sehingga faktor ini yang menyebabkan penurunan harga batu bara ICE Newcastle yang memiliki spesifikasi sulfur kelas atas.
Diketahui China adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, menyumbang sekitar 30% dari total emisi global, karena ketergantungan besar pada industri berbahan bakar batu bara dan pembangkit listrik.
Potensi menguatnya permintaan batu bara India dan permintaan batu bara termal kalori tinggi China masih mendorong kenaikan harga batu bara saat ini.
Sementara, harga batu bara 2024 diperkirakan akan kembali mengalami penurunan untuk rata-rata sepanjang tahun depan. Dilansir dari CNBC Indonesia, Ahmad Zuhdi, Analis Industri Pertambangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan “Kami perkirakan [harga batu bara akan berada di kisaran level] US$117 per ton.”
Nilai tersebut lebih rendah dibanding rata-rata-rata sepanjang 2023 yang berada di US$175 per ton. Tidak hanya itu, perkiraan tersebut terhitung sebagai yang terendah sejak 8 Juni 2021 atau 2 tahun lebih. Selain itu, perkiraan tersebut juga masih di bawah penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (24/11/2023) di level US$ 127,9 per ton, menurut data Refinitiv.
Proyeksi harga yang masih berada di level tinggi dibanding pra pandemi didasarkan oleh kemungkinan kebijakan pelonggaran keuangan ke depan.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw/saw)[Gambas:Video CNBC]