Jakarta, CNBC Indonesia – PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading Pertamina, meminta pemerintah untuk membebaskan cukai untuk bioetanol yang digunakan sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM).
Bioetanol itu sendiri merupakan pemrosesan pengolahan tumbuhan menjadi etanol yang bisa dicampur pada BBM, sehingga produk bensin menjadi lebih ramah lingkungan.
Seperti diketahui, Pertamina kini telah mencampurkan bioetanol 5% (E5), khususnya yang berasal dari tetes tebu (molase), ke dalam BBM Pertamax (RON 92), sehingga menghasilkan produk setara RON 95 atau Pertamax Green 95.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengakui bahwa harga bioetanol untuk campuran BBM masih terhitung tinggi. Saat ini pihaknya tengah mengkoordinasikan dengan Kementerian Keuangan untuk membebaskan cukai bioetanol. Pasalnya, produk bioetanol yang dihasilkan untuk bahan campuran BBM bukanlah untuk konsumsi dalam tubuh.
“Memang harga dasar dari etanol itu sendiri lebih tinggi justru dibandingkan dengan fuel. Tapi, memang ada beberapa upaya, salah satunya adalah koordinasi yang kami lakukan dengan Kementerian Keuangan untuk bisa mendapatkan fasilitas bebas cukai itu tadi, untuk yang fuel grade daripada etanol,” jelas Riva kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, dikutip Rabu (6/12/2023).
Riva menjelaskan, pencampuran bioetanol dalam BBM juga merupakan dukungan perusahaan pada pemerintah untuk menjalankan swasembada gula. Hal itu seperti yang termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
“Juga menjadi perhatian dan juga menjadi tujuan kita, kita adalah mencoba align dengan tadi Perpres no. 40 (tahun 2023) untuk bisa mendukung pemerintah di dalam mencapai swasembada gula,” tambahnya.
Jika bioetanol sebagai campuran BBM tersebut bisa bebas cukai, maka produksi BBM berkualitas yang ramah lingkungan bisa terus berlanjut.
“Kita juga berupaya untuk menciptakan dan juga untuk memproduksi produk-produk yang berkualitas dan juga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” tandasnya.
Sebelumnya, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menyebut salah satu kendala pengembangan bioetanol di dalam negeri yaitu pungutan bea cukai untuk etanol fuel grade yang akan digunakan sebagai campuran BBM. Kondisi ini menurutnya cukup memberatkan bagi pengembangan bioetanol di Tanah Air.
“Kita coba nanti komunikasikan kepada Kementerian Keuangan yang kebetulan Menteri Keuangan juga anggota DEN untuk bisa membedah sehingga molase (tetesan tebu) itu bisa digunakan secara maksimal di dalam negeri. Nah itu yang menjadi apa menjadi pemikiran kita,” kata Satya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023).
Apalagi, lanjutnya, saat ini pemerintah juga telah menegaskan PT Pertamina (Persero) untuk memanfaatkan produksi bioetanol sebagai campuran BBM.
“Bioetanolnya itu biasanya di TBBM (Terminal BBM) Plumpang itu dikirim ke beberapa daerah. Pada waktu pengiriman saja itu transportasinya juga memakan cost karena produksinya ditampungnya di TBBM Plumpang, kalau dikirim ke Jawa Timur harus menggunakan truk tangki sehingga harga di Jawa Timur sudah akan lebih nambah lagi. Maka kenapa perlu ada insentif,” tuturnya.
Di samping itu, Satya mengungkapkan Indonesia juga mempunyai target produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu hingga 1,2 juta kilo liter (kl) pada tahun 2030.
Hal tersebut termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Artikel Selanjutnya
Pertamina Resmi Jual BBM Pertamax Green 95, Harganya Segini
(wia)