Jakarta, CNCB Indonesia – Kondisi ekonomi China yang tengah mengalami pelemahan akibat utang publik yang melonjak hingga perlambatan manufaktur mulai berdampak ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengingatkan bahwa kondisi pelemahan China tampak belum menunjukkan tanda-tanda berakhir di penghujung tahun 2023 ini.
“Berbagai faktor struktural yang sifatnya jangka menengah panjang, antara lain labor aging serta krisis properti masih menjadi faktor pemberat dari perekonomian Tiongkok,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Senin (18/12/2023).
Tanda-tanda pemburukan ekonomi China tampak jelas minggu lalu. Pada Sabtu lalu (9/12/2023), China merilis data Consumer Price Index/CPI maupun Producer Price Index/PPI yang mengalami deflasi.
CPI China terpantau mengalami deflasi 0,5% year on year/yoy sementara PPI China juga deflasi 3% yoy pada periode November 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 2,6% yoy.
Bahkan, Indeks manajer pembelian (purchasing managers’ index/PMI) untuk sektor manufaktur China berada di angka 49,4 pada November 2023, atau turun dari 49,5 pada bulan lalu.
Kondisi perekonomian China ini telah mempengaruhi kinerja perdagangan RI. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor non-migas dari Indonesia ke China merosot pada November 2023. Penurunan ekspor itu terjadi baik dihitung secara bulanan (mtm) maupun tahunan (year on year/yoy).
“Pangsa pasar non-migas ke Tiongkok turun baik secara bulanan atau tahunan,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat, (15/12/2023).
Menurut data BPS, pangsa pasar ekspor non-migas dari RI ke China selama November 2023 adalah 26,11% (yoy) dengan nilai US$ 5,41 miliar. Angka tersebut turun 6,44% dibandingkan ekspor pada bulan Oktober 2023. Pada Oktober 2023, Indonesia mencatatkan ekspor ke Tiongkok sebanyak US$ 5,78 miliar.
Sementara itu, penurunan secara tahunan nilai ekspor non-migas dari Indonesia ke China adalah sebesar 13,86% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada November 2022, Indonesia masih mencatatkan nilai ekspor ke negeri tirai bambu itu sebanyak US$ 6,28 miliar.
Senior Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia mengungkapkan penurunan aktivitas di Tiongkok, setelah tampaknya mengalami perubahan pada kuartal III-2023. Hal ini mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
“Perlambatan manufaktur (dengan PMI pada tanggal 23 November sebesar 49,4) berdampak negatif pada ekspor baja dan nikel (RI), sementara peningkatan ekspor timah hanya mencerminkan larangan penambangan timah di Myanmar yang mengalihkan permintaan ke Indonesia,” kata Barra.
Data BPS memperlihatkan barang besi dan baja mengalami penurunan sebanyak 6,82% secara bulanan (month to month/mtm), kemudian nikel dan barang daripadanya turun 17,16% (mtm), serta ampas dan sisa industri makanan turun 27,8% (mtm).
Kendati ekspor nikel pada bulan November 2023 turun, sebenarnya ekspor barang tambang tersebut masih mengalami peningkatan secara tahunan maupun kumulatif.
Secara tahunan, ekspor nikel masih meningkat 2,63% (yoy). Sementara itu, secara kumulatif dari Januari-November 2023, nilai ekspor nikel meningkat hingga 21,27% (yoy).
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 5,4% pada 2023, kemudian pada tahun depan pertumbuhan produk domestik bruto menyusut jadi 4,6%.
DBS, dalam risetnya berjudul China 2024 Macroeconomic outlook: A New Model, mengungkapkan proyeksinya terhadap pertumbuhan PDB rata-rata secara tahunan (year on year/yoy) China, yakni sebesar 5% pada 2023 dan menurun menjadi 4,5% yoy pada 2024.
Saat ini, impor China juga terkontraksi 0,6% (yoy) pada November 2023 yang menunjukkan melandainya permintaan China untuk produk luar negeri. Sepanjang tahun ini, impor China terus mengalami kontraksi kecuali pada Februari dan Oktober.
Chief China/HK Economist DBS Mo Ji mengungkapkan kenaikan suku bunga riil menghambat pemulihan ekonomi Tiongkok. Seperti diketahui, PBOC mempertahankan suku bunga MLF 1 tahun sebesar 2,50% baru-baru ini.
“Namun menurut kami penurunan Rasio Cadangan Wajib (RRR) sebesar 25bps akan segera terjadi,” ungkap Mo Ji.
Di sisi lain, DBS mencatat sentimen konsumsi masih lemah. Penjualan barang konsumsi meningkat sebesar 10,0% secara tahunan (yoy), namun lajunya jauh lebih lambat dibandingkan penjualan makanan dan minuman yang sebesar 25,8%.
Penjualan terkait pasar properti seperti dekorasi, dan peralatan kantor, masing-masing anjlok sebesar 10,4% dan 8,2% (yoy). Adapun, peralatan rumah tangga hanya tumbuh 2,7% (yoy). Sementara itu, nilai barang dagangan kotor dari platform e-commerce selama pesta diskon 11.11 hanya naik sebesar 2% (yoy).
Namun, Mo Ji mengingatkan inti dari lambatnya pertumbuhan adalah melonjaknya suku bunga riil. Suku bunga kebijakan riil telah meningkat menjadi 3,95% di bulan November dari level terendah 0,85% di bulan September 22.
“Ketatnya pasokan uang menambah tekanan terhadap biaya pendanaan. Pertumbuhan M1 dan M2 melambat dari 1,9% (yoy) dan 10,3% di bulan Oktober menjadi masing-masing 1,3% dan 10,0%. Penetapan repo R007 dan DR007 telah berada di atas tingkat repo terbalik 7 hari PBOC sebesar 1,80% sejak Agustus ini,” tegasnya.
Artikel Selanjutnya
Ekonomi China Loyo Tapi Orderan Barang Ini dari RI Masih Top!
(haa/haa)