Jakarta, CNBC Indonesia – Cerita tentang pembangunan Monumen Nasional (Monas) seperti tidak habis-habis untuk dikulik. Selain sang arsitek Frederich Silaban, tokoh lain yang dianggap berperan penting dalam pembangunan monumen ini adalah seorang pengusaha bernama Teuku Markam.
Meski namanya jarang disebut, banyak sumber menyatakan Markam adalah orang yang menyumbang 28 kilogram emas untuk pembangunan tugu api Monas. Kebenaran mengenai hibah puluhan kilogram emas itu memang perlu ditelisik lebih lanjut. Namun, satu hal yang tidak dapat disangkal adalah Teuku Markam merupakan pengusaha kaya raya di era Presiden Soekarno.
Buku berjudul ‘Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia’ (1984) menuliskan bahwa Teuku Markam lahir di Panton Labu, Aceh pada 12 Maret 1924. Meski memiliki darah bangsawan Aceh (uleebalang), Markam memilih tidak bersekolah.
Di usia 20 tahun, Markam memilih angkat senjata melawan Belanda. Dia juga dikenal sebagai penyelundup senjata dari Singapura ke Pekanbaru. Karier militer Markam terbilang cukup moncer, dia termasuk dalam golongan perwira menengah berpangkat Kapten.
Namun, pada tahun 1957 dia memutuskan keluar dari militer dan menjadi pengusaha. Dia mendirikan perusahaan PT. Karkam, singkatan dari Kulit Aceh Raya Kapten Markam.
Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009) menyebut Karkam adalah perusahaan satu-satunya yang memiliki hak eksklusif ekspor karet dari Sumatera Selatan ke Singapura dan Malaysia selama masa konfrontasi (1960-1963). Selain itu, Karkam juga memegang lisensi proyek besar dari negara, yakni impor Nissan Jeep dan Semen Asano dari Jepang.
Berkat bisnis yang besar itu Robinson menyebut Karkam sebagai perusahaan beraset jutaan dollar AS. Karena ini pula dia juga dikenal sebagai pengusaha yang gemar pesta di Jakarta. Presiden Soekarno mengenalnya sebagai pengusaha sukses yang kerap tampil di Istana Negara untuk “dansa-dansa” dan kegiatan filantropi.
Kedekatan Markam dengan Soekarno justru membuatnya harus terpuruk. Setelah Soeharto berkuasa, Markam dipenjara. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto menuduh Markam terlibat korupsi dan pemberontakan Gerakan 30 September. Soeharto memenjarakan Markam selama 9 tahun dari 1966 sampai 1975.
Selama dipenjara, pemerintah Orde Baru mengambil alih harta Markam. Pemerintah menyita berbagai aset milik Markam di antaranya mobil, rumah, tanah, serta uang tunai Rp 20 milliar dan US$ 30 juta. Di tahun 1966 jumlah kekayaan itu terbilang fantastis. Harga bensin saja hanya Rp 0,3 saat itu.
Dalam Teuku Markam: Kisah Muram Seorang Filantropis Bangsa (2011), PT Karkam juga diambilalih negara dan diganti menjadi BUMN bernama PT Berdikari. BUMN itu berisi orang-orang baru dan sama sekali menghilangkan nama Markam dan sejak itulah Markam hidup dalam kesengsaraan.
Meski di masa Orde Baru masih menjalankan bisnis, tetap saja dia tidak bisa sesukses di masa Orde Lama. Namanya pun masih dianggap sebagai ‘pengkhianat’ dan tidak direhabilitasi.
[Gambas:Video CNBC](fsd/fsd)